Minggu, 04 Mei 2014

CONTOH RESENSI BUKU


Judul buku      : Siraman
Penulis             : Suwarna Pringgawidagda
Penyunting      : Yulia S Rahmawati
Penerbit           : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Cetakan           : 2003
Tebal               : x + 56 halaman
Ukuran             : 14 x 20 cm

Siraman adalah tahap kedua dari tata cara pernikahan adat Jawa. Tahap yang sebelumnya adalah lamaran dari keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan. Siraman digelar satu hari menjelang pernikahan, sebelum upacara malam midodareni.

Siraman merupakan upacara simbolis yang melambangkan penyucian diri sebelum kedua calon mempelai memasuki babak baru dalam kehidupan mereka. Adat Jawa telah mengatur perlengkapan, tata cara, dan siapa saja yang harus terlibat dalam upacara ini. Beberapa bagian dari upacara siraman ini didiringi dengan tembang atau kidung jawa bernada sendu. Alunan kidung ini membuat upacara siraman secara romantis.
Jika Anda ingin mengenal lebih dalam tentang adat Jawa siraman. Anda dapat membaca buku karya Suwarna Pringgawidagda ini, karena cukup lengkap untuk dijadikan sebagai bahan belajar sekaligus praktek prosessiraman itu. Dengan gaya menulis yang sederhana namun tetap komunikatif, buku ini menghadirkan berbagai hal tentang siraman.

Bagi Anda peminat kajian adat Jawa, Anda tentunya perlu untuk membaca buku ini. Dalam buku kecil ini Anda akan menemui pembahasan tentang pengertian siraman dan tujuannya, baik untuk mempelai laki-laki dan perempuan maupun untuk para tetua (h. 1-3). Berbagai peralatan dan bahan yang diperlukan untuk siraman juga dapat anda baca di bagian piranti siraman (h. 4-13).
Selanjutnya jika Anda ingin mengetahui bagaimana proses pelaksanaan siraman, Anda dapat membaca bagian ini di halaman 15-44. Terakhir jika Anda ingin mengetahui sekaligus menghafalkan kidung dandanggulo yang dibacakan dalam proses siraman, dapat Anda baca di halaman 47.
Menjaga Kesucian Lahir Batin

Jika dilihat sekilas, upacara siraman ini terlihat sangat rumit. Setidaknya dari berbagai proses yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Kerumitan juga dapat disaksikan dari berbagai piranti yang harus dipersiapkan, yaitu berupa air, klapa saghandenga, kendi atau kendil, gunting atau mok dan sebagainya. Meskipun demikian, orang Jawa melihat bahwa siraman mengandung nilai pendidikan yang luhur bagi pengantin khususnya, dan masyarakat umumnya, salah satunya adalah mendidik untuk menjaga kesucian diri baik secara lahir maupun batin.

Nilai ini tercermin dari tujuan siraman itu sendiri, yakni untuk menyucikan secara jasmani dan rohani karena pada hari berikutnya calon mempelai akan melaksanakan salah satu tugas suci dalam hidup di dunia, yaitu akad nikah(palakrama). Secara lahiriah, siraman memang hanya menyucikan badan. Tubuh menjadi bersih, wangi dan sehat. namun secara batin orang Jawa meyakini bahwa calon mempelai perempuan juga merasa dirinya suci secara batin dan itu terindikasi dari kesiapan dirinya untuk menikah esok harinya. Ia ikhlas dan tulus untuk mengarungi hidup yang berat dan kelak pastinya penuh cobaan.
Ibarat seseorang yang akan melaksanakan tugas suci dan agung (dalam hal ini menikah), maka hendaknya ia memulai dengan bersuci lahir batin. Dengan bersuci seseorang akan lebih mantap dan siap menghadapi tugas. Dengan kesucian itu, seseorang juga akan merasa lebih optimis tugasnya akan selesai dengan baik.

Ritual yang Mulai Memudar
Nilai kesucian lahir dan batin ini meskipun hanya sebuah symbol, namun bagi orang Jawa itu lebih mengena. Namun patut disayangkan saat ini upacara siraman sudah mulai menghilang dikalangan orang Jawa. Saat inisiraman hanya ada di kraton atau untuk para keluarga ningrat Jawa. Masyarakat Jawa di pedesaan sudah meninggalkan dengan berbagai macam alasan, salah satunya ribet dan memerlukan banyak biaya. Alasan itu sebenarnya hanyalah dibuat-buat jika melihat pernikahan Jawa saat ini juga membutuhkan banyak biaya dan juga ribet. Bayangkan saja, pernikahan orang Jawa modern sekarang banyak di gelar di gedung-gedung atau di hotel. Para tamu undangan hanya diterima di gedung tidak di rumah.
Melihat realitas ini, tampaknya alasan kenapa siraman mulai hilang dari kebudayaan orang Jawa umumnya karena lebih kepada pola piker orang Jawa yang sudah tidak mau repot. Nilai yang terkandung dalam upacarasiraman tidak lagi di lihat sebagai ruang pendidikan hati, melainkan sebagai ritual yang merepotkan dan menghabiskan tenaga serta biaya. Dalam konteks ini, orang jawa dapat dikatakan sebagai orang Jawa yang telah hilang Jawanya.
Dalam konteks hilangnya budaya siraman ini, buku ini menemukan fungsinya yang tepat yaitu mengingatkan dan menyadari kembali orang Jawa akan pentingnya upacara siraman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar