Judul buku : Siraman
Penulis
: Suwarna Pringgawidagda
Penyunting : Yulia S
Rahmawati
Penerbit
: Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta
Cetakan
: 2003
Tebal
: x + 56 halaman
Ukuran : 14 x 20 cm
Siraman adalah tahap kedua dari tata cara
pernikahan adat Jawa. Tahap yang sebelumnya adalah lamaran dari keluarga calon
mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan. Siraman digelar
satu hari menjelang pernikahan, sebelum upacara malam midodareni.
Siraman merupakan upacara simbolis yang
melambangkan penyucian diri sebelum kedua calon mempelai memasuki babak baru
dalam kehidupan mereka. Adat Jawa telah mengatur perlengkapan, tata cara, dan
siapa saja yang harus terlibat dalam upacara ini. Beberapa bagian dari upacara siraman ini
didiringi dengan tembang atau kidung jawa bernada sendu. Alunan kidung ini
membuat upacara siraman secara romantis.
Jika Anda ingin mengenal lebih dalam tentang adat
Jawa siraman. Anda dapat membaca buku karya Suwarna Pringgawidagda ini,
karena cukup lengkap untuk dijadikan sebagai bahan belajar sekaligus praktek prosessiraman itu.
Dengan gaya menulis yang sederhana namun tetap komunikatif, buku ini
menghadirkan berbagai hal tentang siraman.
Bagi Anda peminat kajian adat Jawa, Anda tentunya
perlu untuk membaca buku ini. Dalam buku kecil ini Anda akan menemui pembahasan
tentang pengertian siraman dan tujuannya, baik untuk mempelai
laki-laki dan perempuan maupun untuk para tetua (h. 1-3). Berbagai peralatan
dan bahan yang diperlukan untuk siraman juga dapat anda baca di
bagian piranti siraman (h. 4-13).
Selanjutnya jika Anda ingin mengetahui bagaimana
proses pelaksanaan siraman, Anda dapat membaca bagian ini di halaman
15-44. Terakhir jika Anda ingin mengetahui sekaligus menghafalkan kidung dandanggulo yang
dibacakan dalam proses siraman, dapat Anda baca di halaman 47.
Menjaga Kesucian Lahir Batin
Jika dilihat sekilas, upacara siraman ini
terlihat sangat rumit. Setidaknya dari berbagai proses yang harus dilakukan
oleh kedua mempelai. Kerumitan juga dapat disaksikan dari berbagai piranti yang
harus dipersiapkan, yaitu berupa air, klapa saghandenga, kendi atau
kendil, gunting atau mok dan sebagainya. Meskipun demikian, orang
Jawa melihat bahwa siraman mengandung nilai pendidikan yang luhur
bagi pengantin khususnya, dan masyarakat umumnya, salah satunya adalah mendidik
untuk menjaga kesucian diri baik secara lahir maupun batin.
Nilai ini tercermin dari tujuan siraman itu
sendiri, yakni untuk menyucikan secara jasmani dan rohani karena pada hari
berikutnya calon mempelai akan melaksanakan salah satu tugas suci dalam hidup
di dunia, yaitu akad nikah(palakrama). Secara lahiriah, siraman memang
hanya menyucikan badan. Tubuh menjadi bersih, wangi dan sehat. namun secara
batin orang Jawa meyakini bahwa calon mempelai perempuan juga merasa dirinya
suci secara batin dan itu terindikasi dari kesiapan dirinya untuk menikah esok
harinya. Ia ikhlas dan tulus untuk mengarungi hidup yang berat dan kelak
pastinya penuh cobaan.
Ibarat seseorang yang akan melaksanakan tugas suci
dan agung (dalam hal ini menikah), maka hendaknya ia memulai dengan bersuci
lahir batin. Dengan bersuci seseorang akan lebih mantap dan siap menghadapi
tugas. Dengan kesucian itu, seseorang juga akan merasa lebih optimis tugasnya
akan selesai dengan baik.
Ritual yang Mulai Memudar
Nilai kesucian lahir dan batin ini meskipun hanya
sebuah symbol, namun bagi orang Jawa itu lebih mengena. Namun patut disayangkan
saat ini upacara siraman sudah mulai menghilang dikalangan orang
Jawa. Saat inisiraman hanya ada di kraton atau untuk para keluarga ningrat
Jawa. Masyarakat Jawa di pedesaan sudah meninggalkan dengan berbagai macam
alasan, salah satunya ribet dan memerlukan banyak biaya. Alasan itu sebenarnya
hanyalah dibuat-buat jika melihat pernikahan Jawa saat ini juga membutuhkan
banyak biaya dan juga ribet. Bayangkan saja, pernikahan orang Jawa modern
sekarang banyak di gelar di gedung-gedung atau di hotel. Para tamu undangan
hanya diterima di gedung tidak di rumah.
Melihat realitas ini, tampaknya alasan kenapa siraman mulai
hilang dari kebudayaan orang Jawa umumnya karena lebih kepada pola piker orang
Jawa yang sudah tidak mau repot. Nilai yang terkandung dalam upacarasiraman tidak
lagi di lihat sebagai ruang pendidikan hati, melainkan sebagai ritual yang
merepotkan dan menghabiskan tenaga serta biaya. Dalam konteks ini, orang jawa
dapat dikatakan sebagai orang Jawa yang telah hilang Jawanya.
Dalam konteks hilangnya budaya siraman ini,
buku ini menemukan fungsinya yang tepat yaitu mengingatkan dan menyadari
kembali orang Jawa akan pentingnya upacara siraman.